JAKARTA - Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Gatot Irianto mengatakan, pihaknya akan memperketat pengawasan perizinan pestisida dengan mengawasi pelaku importir pestisida. “Jadi nanti izinnya satu saja tidak boleh pecah kongsi lalu bikin nama perusahaan lagi, perusahaan yang tidak berproduksi juga tidak boleh lagi dapat izin,” kata Gatot, di Jakarta.
Menurut Gatot, pestisida yang dilarang di forum internasional juga akan diteliti lebih lanjut dengan pengecekan laboratorium. Menurut Gatot, kalau pestisida tersebut dilarang dalam forum internasional pasti ada alasannya. "Sekarang yang akan mengambil sample juga harus petugas pusat kami dan lab pemeriksaan kami yang akan menentukan supaya lebih transparan,” katanya.
Gatot menargetkan, evaluasi terhadap pestisida impor ini akan selesai akhir tahun ini. Sebab itu, pihaknya sedang menggodok revisi aturan dalam Permentan. Namun, Gatot menambahkan butuh proses karena aturan atau regulasi itu harus disosialisasikan oleh berbagai pihak.
Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, tingginya penggunaan dan maraknya perdagangan pestisida menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah. Pasalnya, banyak pestisida dengan bahan aktif yang dilarang berdasar INPRES 3/86, ditemukan masih beredar di petani.
"Organokhlorin dan organofosfat yang sudah dilarang digunakan pada padi masih ditemukan di kios saprodi sehingga bisa dibeli petani dengan bebas. Peredaran pestisida di pasar banyak yang tidak memiliki izin. Dari total peredaran, sekitar 10%-12% merupakan pestisida ilegal," kataya.
Said menuturkan, penggunaan pestisida dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Hasil kajian Field Indonesia pada 306 petani padi di Klaten tahun 2011 lalu didapai data bahwa petani yang disurvei menggunakan pestisida rata-rata 5-7 kali per musim tanam. Suatu jumlah yang sangat tinggi di tanaman padi. Hal ini didukung oleh peredaran pestisida yang luas di negeri ini. Jumlah merek pestisida yang beredar makin banyak dari tahun ke tahun.
Saat ini berdasarkan data Komisi Pestisida di bawah Kementerian Pertanian (Kemtan) sudah terdaftar fungisida sebanyak 350 merek, herbisida sebanyak 600 merek dan insektisida sebanyak 800 merek, dengan izin tetap. Jumlah ini belum termasuk produk yang illegal.
Untuk itu, lanjut Said, pemerintah harus segera melakukan pengendalian dan pengawasan peredaran pestisida. Fungsi regulasi dan kontrol ini harus diterapkan secara ketat. Kebijakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) perlu dilakukan kembali. Sebab lanjut Said, kebijakan PHT merupakan cara efektif mengendalikan ledakan wereng seperti yang telah dibuktikan beberapa tahun silam.
Menurut Said, kebijakan memasukan pestisida sebagai paket produksi padi (outbreak stock) di pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten dan pembagian gratis atau subsidi terselubung pestisida ke petani baik dari program pemerintah maupun dari perusahaan pestisida harus dihentikan.
Cara ini hanya akan melahirkan kerentanan di tanaman padi, meningkatnya serangan hama (wereng dan hama lain) dan meningkatkan ketergantungan pertanian terhadap bahan kimia beracun produksi perusahaan. Dalam jangka panjang hanya akan melahirkan ketergantungan, menjauhkan petani dari kedaulatan.
"Subsidi dan penyebaran benih padi hibrida impor secara luas perlu dilihat kembali karena tidak terbukti meningkat produksinya dan tahan serangan hama penyakit dalam kondisi umum pertanian tropis di Indonesia," ujarnya.
Selain itu, lanjut Said, sudah saatnya pemerintah mendorong penggunaan benih lokal yang tidak hanya tahan hama tetapi menguntungkan bagi petani dan masyarakat secara keseluruhan.
Seperti diketahui, perdagangan pestisida terutama insektisida di Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Negara-negara Asia Tenggara sudah melipatgandakan impor insektisida terutama produksi dari China, termasuk Indonesia. Tahun 2009 saja, Indonesia mengimpor insektisida lebih dari US$ 90 juta. Total nilai pasar pestisida nasional sebesar Rp 6 triliun per tahun
(dat03/kontan)
Menurut Gatot, pestisida yang dilarang di forum internasional juga akan diteliti lebih lanjut dengan pengecekan laboratorium. Menurut Gatot, kalau pestisida tersebut dilarang dalam forum internasional pasti ada alasannya. "Sekarang yang akan mengambil sample juga harus petugas pusat kami dan lab pemeriksaan kami yang akan menentukan supaya lebih transparan,” katanya.
Gatot menargetkan, evaluasi terhadap pestisida impor ini akan selesai akhir tahun ini. Sebab itu, pihaknya sedang menggodok revisi aturan dalam Permentan. Namun, Gatot menambahkan butuh proses karena aturan atau regulasi itu harus disosialisasikan oleh berbagai pihak.
Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, tingginya penggunaan dan maraknya perdagangan pestisida menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah. Pasalnya, banyak pestisida dengan bahan aktif yang dilarang berdasar INPRES 3/86, ditemukan masih beredar di petani.
"Organokhlorin dan organofosfat yang sudah dilarang digunakan pada padi masih ditemukan di kios saprodi sehingga bisa dibeli petani dengan bebas. Peredaran pestisida di pasar banyak yang tidak memiliki izin. Dari total peredaran, sekitar 10%-12% merupakan pestisida ilegal," kataya.
Said menuturkan, penggunaan pestisida dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Hasil kajian Field Indonesia pada 306 petani padi di Klaten tahun 2011 lalu didapai data bahwa petani yang disurvei menggunakan pestisida rata-rata 5-7 kali per musim tanam. Suatu jumlah yang sangat tinggi di tanaman padi. Hal ini didukung oleh peredaran pestisida yang luas di negeri ini. Jumlah merek pestisida yang beredar makin banyak dari tahun ke tahun.
Saat ini berdasarkan data Komisi Pestisida di bawah Kementerian Pertanian (Kemtan) sudah terdaftar fungisida sebanyak 350 merek, herbisida sebanyak 600 merek dan insektisida sebanyak 800 merek, dengan izin tetap. Jumlah ini belum termasuk produk yang illegal.
Untuk itu, lanjut Said, pemerintah harus segera melakukan pengendalian dan pengawasan peredaran pestisida. Fungsi regulasi dan kontrol ini harus diterapkan secara ketat. Kebijakan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) perlu dilakukan kembali. Sebab lanjut Said, kebijakan PHT merupakan cara efektif mengendalikan ledakan wereng seperti yang telah dibuktikan beberapa tahun silam.
Menurut Said, kebijakan memasukan pestisida sebagai paket produksi padi (outbreak stock) di pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten dan pembagian gratis atau subsidi terselubung pestisida ke petani baik dari program pemerintah maupun dari perusahaan pestisida harus dihentikan.
Cara ini hanya akan melahirkan kerentanan di tanaman padi, meningkatnya serangan hama (wereng dan hama lain) dan meningkatkan ketergantungan pertanian terhadap bahan kimia beracun produksi perusahaan. Dalam jangka panjang hanya akan melahirkan ketergantungan, menjauhkan petani dari kedaulatan.
"Subsidi dan penyebaran benih padi hibrida impor secara luas perlu dilihat kembali karena tidak terbukti meningkat produksinya dan tahan serangan hama penyakit dalam kondisi umum pertanian tropis di Indonesia," ujarnya.
Selain itu, lanjut Said, sudah saatnya pemerintah mendorong penggunaan benih lokal yang tidak hanya tahan hama tetapi menguntungkan bagi petani dan masyarakat secara keseluruhan.
Seperti diketahui, perdagangan pestisida terutama insektisida di Asia Tenggara dalam lima tahun terakhir terus meningkat. Negara-negara Asia Tenggara sudah melipatgandakan impor insektisida terutama produksi dari China, termasuk Indonesia. Tahun 2009 saja, Indonesia mengimpor insektisida lebih dari US$ 90 juta. Total nilai pasar pestisida nasional sebesar Rp 6 triliun per tahun
(dat03/kontan)
sumber : http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=243243:penggunaan-pestisida-diperketat&catid=18:bisnis&Itemid=95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar